Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional dibagi menjadi lima tahapan yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
A. Tahap Pertama ( Masa Kekaisaran Romawi Abad ke
2-6 sesudah Masehi)
Masa ini adalah masa awal perkembangan hukum perdata internasional. Wujud
nyatanya adalah dengan tampaknya hubungan antara warga romawi dengan penduduk
provinsi atau municipia, dan penduduk provinsi atau orang asing dengan satu
sama lain didalam wilayah kekaisaran romawi. Dalam hubungan hukum tersebut
tentu memiliki sengketa, dan untuk menyelesaikan sengketa dibentuklah peradilan
khusus yang disebut preator peregrines[1]. Hukum yang digunakan adalah Ius Civile, yaitu
hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah disesuaikan untuk kepentingan
orang luar.
Asas HPI yang berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting dalam Hukum Perdata Internasional modern yakni:
a. Asas Lex Rei Sitae ( Lex Situs ) yang berarti
perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak tunduk pada hukum
dari tempat di mana benda itu berada/terletak.
b. Asas Lex Domicilii yang berarti hak dan kewajiban perorangan
harus diatur oleh hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
c. Asas Lex Loci Contractus yang berarti bahwa terhadap
perjanjian-perjanjian ( yang melibatkan para pihak-pihak warga dari provinsi
yang berbeda ) berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian[2].
B. Tahap Kedua ( Masa Pertumbuhan Asas
Personal Hukum Perdata Internasional Abad ke-6 sampai 10)
Pada masa ini kekaisaran romawi ditaklukan oleh orang
“barbar” dan wilayah bekas provinsi-provinsi jajahan romawi, dan akibatnya ius
civile pada masa kekaisaran romawi tidak berguna.
Pada masa iini tumbuh dan berkembang
beberapa prinsip atau asas genealogis, yaitu :
1. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam
setiap proses penyelesaian sengketa hukum, hukum yang digunakan adalah hukum
dari pihak tergugat.
2. Penetapan kemampuan untuk membuat
perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum perssonal dari
masing-masing pihak.
3. Proses pewarisan harus dilangsungkan
berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
4. Peralihan hak milik atas benda harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak transferor.
5. Penyelesaian perkara tentang perbuatan
melanggar hukum harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari pihak pelaku
perbuatan yang melanggar hukum.
6.
Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari
piahak suami.
C.
Tahap Ketiga (Pertumbuhan Asas Teritorial
Abad ke 11-12 di Italia)
Pertumbuhan asas genealogis sulit untuk dipertahankan diakibatkan struktur masyarakat yang semakin
condong ke arah masyarakat teritorialistik diseluruh wilayah eropa.
Keanekaragaman
sistem-sistem hukum lokal kota-kota ini didukung dengan intensitas perdagangan
antar kota yang tinggi yang sering menimbulkan persoalan mengenai pengakuan
terhadap hak asing diwilayah suatu kota. Dalam hal menyelesaikan masalah inilah
untuk menjawab perselisihan tersebu dapat dianggap sebagai pemicu tumbuhnya
teori Hukum Perdata Internasional yang dikenal dengan sebutan teori statuta
diabad ke 13 sampai abad 15.
D. Tahap Keempat ( Perkembangan Teori Statuta) yang terdiri dari :
- Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad ke 13-15)
Ø
Dasar-dasar
Teori Statuta
Lahirnya teori statuta italia dipicu oleh gagasan seorang tokoh post
glassator yang bernama Accurcius yaitu
“Bila seorang yang berasal dari suatu kota tertentu di Italia di gugat
disebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota
lain it karena ia bukan subjek hukum dari kota lain itu.”
- Perkembangan Teori Statuta di Prancis ( Abad ke-16)
Perkembangan Teori
Statuta di Prancis terjadi pada abad ke-16 Masehi. Situasi
Ø
Kenegaran di Prancis Abad ke-16
Struktur kenegaraan Prancis pada abad ini, mendorong untuk mempelajari hubuungan perselisihan secara intensif. Para ahli hukum Prancis berusaha
menjalani dan memodifikasi teori Statuta Italia dan menerapkannya dalam konflik
antar propinsi di Prancis.
Ø
Cara Penyelesaian
Para ahli hukum mendalami dan memodifikasi teori statuta dan menerapkannnya
di provinsi italia, beberapa tokoh teori statuta diprancis yang dikenal yaitu
Dumoulin (1500-1566) dan D’Argentre (1523-1603).
- Perkembangan Teori Statuta di Belanda (Abad ke 17-18)
Tokoh dalam Teori
Statuta Belanda adalah Ulrik Huber (1636-1694), dan Johannes Voet (1647-1714)
Prinsip dasar yang
dijadikan titik tolak dalam teori statuta belanda ini adalah kedaulatan
ekslusif negara yang berlaku didalam teritorial suatu negara.
Menurut Ulrik, untuk menyelesaikan perkara
hukum perdata internasional, ulrik berpendapat bahwa orang harus bertitik tolak
dari 3 prinsipdasar, yaitu :
- Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu
- Semua orang atau subjek hukum secara tetap atau sementara berada didalam teritorial wilayah suatu negara berdaulat.
- Berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara, hukum yang belaku dinegara asalnya tetap memilikikekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberin pengakuan.
Menurut Johannes Voet, ia menjelaskan kembali ajaran comitas gentium, yaitu :
- Pemberlakuan hukum asing disuatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional
- Suatu negara asing tidak dapat menuntut pengakuan kaidah hukumnya didalam wilayah hukum suatu negara lain.
- Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antar negara
- Namun, asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan asas ini harus dianggap sebagai bagian dari suatu sistem hukum nasional negara itu.
E. Tahap Kelima ( Teori
Hukum Perdata Internasional Universal) Abad ke-19
Tokoh yang
mencetuskan teori ini adalah Friedrich Carl V. Savigny yang berasal dari
Jerman. Pemikiran Savigny ini juga berkembang setelah didahului oleh pemikiran
tokoh lain yang juga berasal dari jerman yaitu C.G. Von Wacher yang mengkritik
bahwa teori statuta italia dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.[3]
Watcher berasumsi
bahwa Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya diterapkan pada
kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu kaidah perkara Hukum perdata
internasional, forumlah yang harus menyediakan kaidah hukum perdata
internasional.
Sedangkan demikian
pandangan F.C Von Savigny adalah bahwa :
- Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat” itu dengan berasumsi bahwa “untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya” dengan melihat hakikat dari hubungan tersebut.
- Jika orang hendak menetukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum
- Savigny beranggapan bahwa legal seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuanm titik-titik taut.
- Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan, sistem hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
- Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan titik-titik taut yang sama pada hubungan hukum yang sejenis.
- Asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut pendekatan tradisional mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam rangka menentukan lex causae.
- Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai perkara HPI .
[1]
Hardjowohono, Bayu Seto.2006.
Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti hal 32
[2]
Hardjowohono, Bayu Seto.2006.
Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti hal 33
[3]
Hardjowohono, Bayu Seto.2006.
Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti hal 51
6 komentar:
nice posting
alhamdulillah tugas gw rada ringan
terima kasih juragan sangat membantu sekali semoga pahala sdr/i di lipat gandakan
aminn..
Jelas banget penjelasannya,. Terimakasih
Sangat membantu
kesimpulan sejarah umum HPI dong
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca tulisan diblog ini
jangan lupa tinggalkan komentar yaa..